Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad
Winayaka ini umumnya disebut Pura Sad Kahyangan. Tidak kurang
dari sembilan lontar menyatakan adanya Pura Sad Kahyangan. Namun
setiap lontar menyatakan pura yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan
karena saat Bali menjadi sembilan kerajaan. Tiap-tiap kerajaan
memiliki Sad Kahyangan masing-masing. Ada yang sama dan ada juga
yang tidak sama.
Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar
Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan.
Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai
Pura Sad Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa
lontar lainnya. Pura Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai
pura Padma Bhuwana yang berada di arah barat daya Pulau Bali.
Untuk menjaga agar Pura Kahyangan Jagat tersebut
tetap lestari maka PHDI Pusat telah mengeluarkan Bhisama tentang
Kesucian Pura. Bhisama Kesucian Pura tersebut dikeluarkan oleh
PHDI Pusat tanggal 25 Januari 1994 adalah suatu produk untuk melanjutkan
sistem beragama Hindu di Bali, khususnya tentang keberadaan Pura
Kahyangan Jagat. Jarak keberadaan pura yang tergolong Kahyangan
Jagat itu yakni desa pakraman terdekat dengan Kahyangan Jagat
umumnya berjarak apeneleng agung (sekitar lima kilometer).
Kahyangan Jagat tersebut khususnya Kahyangan
Jagat yang tergolong Kahyangan Rwa Bhineda, Kahyangan Catur Loka
Pala, Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana yang berada di
sembilan penjuru Pulau Bali. Sedangkan Pura Kahyangan Jagat yang
tergolong Pura Dang Kahyangan berjarak apeneleng alit kurang lebih
dua kilometer. Sedangkan untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya
dengan jarak apenimpug dan apenyengker.
Istilah-istilah apeneleng agung, apeneleng alit,
apenimpug dan apenyengker semuanya itu adalah istilah yang terdapat
dalam tradisi budaya Bali warisan leluhur umat Hindu yang sudah
ada sejak berabad-abad. Tujuan utama Bhisama Kesucian Pura tersebut
untuk menata keseimbangan perilaku manusia dalam memanfaatkan
alam agar tidak semata-mata dijadikan sarana untuk kepentingan
hidup sekala yang bersifat sementara. Pemanfaatan ruang di alam
ini agar digunakan secara seimbang untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang bersifat sekala dan niskala dengan landasan filosofi Tri
Hita Karana.
Bhisama Kesucian Pura ini dibuat untuk mencegah
pelanggaran tentang keberadaan pura tersebut tidak berlangsung
terus. Namun, bhisama ini adalah produk pandita melalui Pasamuan
Sulinggih PHDI Pusat yang dibantu oleh Sabha Walaka dan Pengurus
Harian PHDI Pusat. Bhisama ini adalah tergolong norma agama. Sanksi
norma agama bagi pelanggar-pelanggarnya tergantung dari keyakinan
umat pada ajaran agamanya.
Bhisama itu adalah penafsiran suatu ajaran agama
yang belum jelas dan tegas dinyatakan dalam kitab suci Veda. Namun
secara filosofis sudah tercantum dalam kitab suci. Dalam Manawa Dharmasastra XII.108 menyatakan, kalau ada hal-hal yang belum
secara jelas dinyatakan dalam ajaran Veda (Dharma), maka yang
berwewenang menentukan jawabannya adalah Brahmana Sista (Pandita
Ahli). Ketentuan itu memiliki kekuatan legal.
Selanjutnya dalam Manawa Dharmasastra XII.110
dinyatakan bahwa apa pun yang telah ditetapkan oleh Brahmana Sista
yang memegang jabatan di Parisada, memiliki kekuatan hukum yang
sah, siapa pun sebaiknya tidak ada yang membantahnya.
Substansi bhisama adalah menjaga kawasan suci
di areal pura agar jangan terjadi polusi dan vibrasi negatif.
Kalau di sekitar pura sudah terjadi polusi dan vibrasi negatif
karena terjadi berbagai kegiatan hidup yang tidak sesuai dengan
norma agama yang diberlakukan di areal pura tersebut, apa lagi
ditambah dengan lingkungan yang sudah terpolusi, dapat menyebabkan
pura tidak lagi memancarkan kesucian dan kelestarian alam lingkungan.
Keberadaan pura dengan lingkungannya hendaknya
ditata sedemikian rupa sehingga dapat dihadirkan sebagai fasilitas
spiritual yang memadai. Dengan demikian pura dengan fasilitas
spiritualnya dapat memberikan kontribusi spiritual yang lebih
dalam kepada mereka yang sedang menjadikan pura sebagai media
untuk mengembalikan daya spiritualnya. Karena itu, Bhisama Kesucian
Pura membenarkan adanya berbagai fasilitas yang menunjang keberadaan
pura sebagai media spiritual.
Yang dapat dibangun di sekitar pura seperti dharmasala
dan pasraman dan bangunan-bangunan lainnya yang berfungsi untuk
lebih mengeksistensikan keberadaan pura sebagai media untuk menguatkan
aspek spiritual umat. Dharmasala adalah bangunan sebagai tempat
menginap umat yang dari jauh yang ingin mengikuti berbagai kegiatan
keagamaan di pura bersangkutan. Dharmasala ini dalam sistem pengelolaannya
dapat saja memungut biaya kepada umat yang menginap sebagai biaya
untuk memberikan pelayanan kepada umat bersangkutan.
Dharmasala bukanlah hotel sebagai tempat penginapan
umum. Yang boleh menginap di dharmasala adalah mereka yang khusus
akan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di pura bersangkutan.
Sedangkan pasraman adalah suatu fasilitas yang menyediakan fasilitas
pendidikan kerohanian untuk menyiapkan umat yang akan mengikuti
berbagai kegiatan di pura bersangkutan. Di samping dharmasala
dan pasraman dapat saja dibangun fasilitas lainnya di areal kesucian
pura sepanjang hal itu menunjang eksistensi pura sebagai kawasannya
sebagai media spiritual.
Dalam areal radius lima kilometer di Pura Luhur
Uluwatu dengan Pura-pura Prasanak-nya itu dapat saja dibangun
dharmasala dan pasraman. Apalagi dilengkapi dengan bangunan ''diorama''
yang dapat memvisualisasikan berbagai nilai filosofi hidup yang
dikandung oleh keberadaan Pura Luhur Uluwatu dengan Pura Prasanak-nya.
Upaya itu tentunya amat positif, sepanjang dilakukan dan didahului
dengan pengkajian yang mendalam. Hasil pengkajian tersebut dituangkan
ke dalam program yang matang, baik untuk jangka pendek maupun
untuk jangka panjang. Dengan demikian generasi sekarang akan memiliki
komitmen spiritual untuk melanjutkan warisan leluhur yang amat
mulia itu.
|
Posting Komentar
Thanks for the comment :)